
Alunan melodi gitar dan keyboard berpadu dengan suara tabuhan drum dan kendang yang bertalu-talu serta siulan suling yang mendayu-dayu memecah keheningan pagi buta di suatu desa di kabupaten Kuningan, Jawa Barat pada bulan Ramadhan. Di kala orang lain masih tertidur pulas, ada sekelompok orang yang berkeliling desa sambil memetik gitar, menekan tangga nada keyboard, meniup suling, menabuh drum dan kendang, serta menyanyikan lagu-lagu tarling yang diselingi lagu-lagu sunda, religi, dan dangdut koplo pantura. Para pemain musik Menyusuri jalan dan gang serta melewati rumah-rumah penduduk.

Warga yang tertidur pun langsung terbangun dan segera menyiapkan makan sahur ketika mendengarnya, ada pula yang menyempatkan keluar rumah untuk menyaksikan para pemain musik tersebut ketika mereka melewati rumahnya. Ada yang hanya menonton di depan rumah ada pula beberapa anak muda yang bergegas mengikuti mereka.
Sore harinya, para pemusik tersebut kembali berkeliling desa. Kali ini lebih meriah, karena mereka membawa burok dan sisingaan lengkap dengan penarinya. Terkadang mereka berhenti ketika ada keramaian.
Anak-anak kecil langsung berebut untuk naik sisingaan dan burok. Iring-iringan akan kembali berjalan jika para anak kecil sudah naik di atas burok dan sisingan. Sambil bernyanyi, para penari sisingaan dan burok juga menari mengikuti irama lagu. Para orangtua mengikuti di samping sisingaan untuk mengawasi anaknya. Sedangkan anak-anak yang tidak kebagian naik akan mengikuti di belakang iring-iringan bersama orangtuanya. Terkadang warga yang menonton di pinggir jalan melemparkan sejumlah uang saweran kepada iring-iringan.Itulah Obrog, sebuah kegiatan atau tradisi yang dilakukan masyarakat di pesisir utara Jawa Barat pada bulan Ramadhan untuk membangunkan sahur dan ngabuburit sembari menunggu berbuka puasa. Jika di daerah betawi terutama Jakarta memiliki tradisi Ngarak Bedug, lalu di Jawa Tengah dan Yogyakarta memiliki tradisi Klotekan, serta di Jawa Timur dan Madura memiliki tradisi Patrol Musik, maka Jawa Barat bagian utara punya tradisi Obrog.
Kegiatan ini lazim ditemui di daerah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Obrog biasanya beroperasi sekitar pukul setengah 3 hingga pukul 4 pagi untuk membangunkan sahur dan pukul 4 sore hingga menjelang maghrib untuk ngabuburit.
Obrog sendiri berawal dari sekelompok pemuda di desa-desa di utara Jawa Barat pada tahun 70an. Mereka berkeliling desa untuk membangunkan sahur. Awalnya mereka hanya menggunakan kentongan bambu dan gentong bekas yang dipukul sebagai alat musik. Disebut “Obrog” karena suara yang dihasilkan barang-barang tersebut seperti berbunyi “Brog…brog…”, dari situlah masayarakat menyebutnya obrog.
Tidak hanya meneriakkan kata “sahur”, tetapi mereka juga menyanyikan lagu-lagu tarling, sunda, dan religi. Memasuki tahun 2000an, barulah Obrog mengalami improvisasi. Alat musik yang tadinya hanya kentongan bambu dan gentong bekas diganti dengan alat musik modern dan elektrik seperti drum, gitar listrik, keyboard, dan juga seperangkat elektronik seperti speaker besar, sound mixer, lampu LED, dan mikrofon. Tak lupa alat musik tradisional seperti kendang dan suling juga ditambahkan, dan untuk suplai listrik menggunakan genset bertenaga diesel.
Alat-alat musik dan elektronik tadi disusun di atas papan beroda yang panjang dan lebar. Untuk mengerakkannya masih menggunakan tenaga manusia, yaitu dengan didorong, namun di beberapa desa sudah ada yang ditarik oleh traktor untuk menggerakkannya.
Lagu-lagu yang dinyanyikan pun sekarang tidak hanya tarling, pop sunda, dan religi saja. Sekarang mereka juga menyanyikan lagu-lagu dangdut koplo pantura.
Awalnya, anggota pemain Obrog seluruhnya adalah laki-laki baik yang menyanyi dan memainkan musik. Namun, semakin ke sini perempuan juga boleh ikut serta menjadi penyanyi, asal berpakaian yang sopan dan tidak seronok, ya minimal mengenakan baju berlengan dan celana panjang.
Pada sore hari di hari terakhir bulan Ramadhan, Obrog akan lebih meriah lagi. Selain karena membawa sisingaan dan burok, mereka juga berkeliling desa lebih lama, karena mereka akan berhenti di titik-titik tertentu seperti balai desa, rumah kepala desa, dan juga rumah-rumah orang yang dianggap “besar” di desa seperti rumah bos galon, bos cincau, pemilik penggilingan padi, dan rumah tetua kampung seperti kakek saya. Tak heran ketika ada Obrog lewat, rumah kakek saya menjadi sangat ramai karena iring-iringan masuk ke halaman. Saya pun menjadi tidak pernah absen untuk menaiki burok dan sisingaannya, bahkan saya juga pernah satu kali mencoba bernyanyi.
Rumah kakek saya selalu menjadi tempat istirahat iring-iringan, karena Obrog selalu melewati rumah kakek saya ketika maghrib. Apalagi om saya merupakan pemuda desa yang aktif, makanya om saya selalu menyediakan makanan untuk berbuka kepada pemain Obrog.
Obrog akan berlanjut ketika semua pemainnya selesai berbuka. Mereka tidak langsung pergi, melainkan bernyayi 1 sampai 3 lagu di rumah kakek saya. Karena malam terakhir Ramadhan, maka di setiap jeda lagu dengan lagu lainnya dikumandangkan takbir sebanyak 3 kali. Setelah itu mereka akan kembali berkeliling desa, biasanya hingga pukul 10 malam karena malam terakhir Ramadhan.
Pada hari raya Idul Fitri atau keesokan harinya, para pemain Obrog akan berkeliling ke rumah-rumah warga untuk bersilaturahmi sekaligus meminta uang seikhlasnya kepada warga sebagai uang lelah. Mereka tidak mematok berapa uang yang harus diberikan dan tidak memaksa warga untuk memberikannya, dikasih cepek alias 100 perak pun mereka tetap menerima dengan senang hati. Warga pun tidak pernah ada yang keberatan untuk memberikan uangnya.
Obrog juga sering digunakan untuk acara khitanan. Keluarga ayah saya pernah menanggap Obrog untuk khitanan adik saya dan anak dari om saya. Waktu itu pada tahun 2016 selepas lebaran.
Sayangnya, masih banyak yang menganggap Obrog adalah kegiatan yang kampungan. Sebenarnya wajar dan sah-sah saja jika dibilang kampungan karena kegiatan ini berlaku di desa atau kampung. Tapi sebagaimana yang kita ketahui bahwa kata “kampungan” adalah kata untuk merendahkan sesuatu. Saya pernah dibilang kampungan oleh nenek dari ibu saya ketika beliau mengetahui saya menyanyi bersama Obrog.
Tapi tak jarang pula yang mengapresiasi Obrog. Contohnya guru gitar saya, beliau mengatakan bahwa Obrog adalah salah satu budaya Indonesia yang harus dilestarikan. Bahkan beliau mengapresiasi saya ketika mengetahui saya menyanyi bersama Obrog, katanya jarang sekali anak muda dari kota yang mau mengajukan diri untuk menyanyi bersama Obrog di kampung.
Berikut ini akan saya tampilkan beberapa video Obrog